Apakah dzikir berefek panas?

Apakah Dzikir Berefek Panas?

Bila anda bertanya pada kebanyakan orang, mungkin akan dijawab ya. Tapi dengan yakin saya akan menjawab: Tidak, dzikir itu menenangkan jiwa. Allah berfirman:

 

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. [Surat Ar-Ra’d: 28]

 

ٍSesuatu yang menenangkan jiwa tidak akan panas sebab kalau berefek panas maka tidak akan menimbulkan efek menenangkan. Panas itu tanda gelisah dan tidak tenang. Sebagian ulama berkata bahwa ketenangan jiwa karena dzikir akan berdampak pada ketenangan raga sehingga terlihat bahwa orangnya tenang, tidak emosional, tidak grusa-grusu dan seterusnya.

 

Tapi bukanlah banyak cerita dan testimoni orang yang mengaku berzikir bisa berefek panas? Bahkan ada banyak cerita bahwa pelaku dzikir tertentu ada yang menjadi stres bahkan gila.

 

Ya, cerita dan testimoni semacam itu sangat banyak, tapi efek itu bukan karena dzikirnya tapi karena hal lain yang dicampurkan. Dzikir itu seperti air yang seharusnya menyejukkan jiwa dan menenangkan raga. Tapi bila ternyata seseorang minum air malah mabuk, artinya ada campuran di air tersebut yang bermasalah. Dzikir juga berefek demikian bila dicampur dengan hal lain, misalnya:

 

1. Faktor fisik

 

Beberapa dzikir diresepkan untuk dibaca dalam jumlah fantastis, ada yang ribuan bahkan ada yang puluhan ribu. Ini bisa menimbulkan efek yang tidak kecil pada fisik sehingga orangnya bisa merasa panas dan sakit. Masalahnya bukan pada dzikirnya, tapi pada fisik yang tidak kuat harus membaca hal yang sama berulang-ulang dalam waktu yang lama. Andai dzikirnya diganti dengan membaca koran, maka efeknya juga akan sama bagi tubuh.

 

Demikian pula orang yang dipaksa harus menghafal atau membaca dzikir tertentu yang jumlahnya banyak, misalnya hafalan al-Qur’an dengan target cepat atau punya target khatam al-Qur’an dalam waktu 3-2 hari, maka tentu saja wajar kalau di tubuhnya terasa efek yang tidak nyaman. Tapi itu bukan karena dzikirnya, namun karena fisiknya tidak kuat atau memorinya yang kecil tapi dipaksa bekerja keras. Ini tidak lebih dari sekedar kelelahan biasa yang bisa pulih dengan istirahat.

 

Beberapa pembaca al-Qur’an yang punya target khataman super cepat telah berlebihan memandang dirinya sendiri yang “merasa panas” hingga terkesan menyamakan dirinya dengan Nabi Muhammad yang merasa berat hingga berkeringat dan gemetar ketika menerima wahyu dari Jibril. Penyamaan ini hanya halusinasi yang timbul dari hati yang ujub. Dalam hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad merasa berat menerima wahyu hanya ketika Jibril masih masih dalam sifat aslinya sebagai malaikat, namun beliau merasa ringan ketika Jibril berubah wujud menjadi manusia. Jadi, yang menyebabkan berat adalah perbedaan karakter antara dimensi Malaikat dan Manusia, bukan karena wahyu yang disampaikan. Selain itu, wahyu yang disampaikan Jibril juga membuat badan Nabi Muhammad sewaktu menerimanya benar-benar berat secara bobot hingga ketika Nabi menerima wahyu ketika naik unta, maka untanya akan duduk sebab tidak sanggup menahan berat Nabi saat itu. Ini tentu tidak pernah dialami oleh pembaca al-Qur’an yang dikejar target khataman. Jadi, menyamakan diri yang hanya sebagai pembaca mushaf yang kebetulan capek secara fisik dengan Nabi Muhammad yang berat menerima wahyu bukanlah penyamaan yang pantas sebab keduanya sangat berbeda.

 

2. Faktor mental

 

Biasanya dzikir yang berefek panas adalah dzikir yang niatnya bukan sekedar mencari pahala atau ridha Allah, bukan pula yang niatnya ingin tadabbur, tapi karena faktor duniawi. Entah itu ingin kaya, ingin pangkat, ingin pengaruh sosial, ingin sakti dan seterusnya. Ambisi duniawi inilah yang membuat efek panas, bahkan stres dan gila tersebut.

 

Secara psikologis sebenarnya wajar timbul efek tersebut sebab orang yang menempuh jalan ini biasanya punya skill rendah tapi punya impian yang tinggi, akhirnya mudah stres. Misalnya seseorang tidak punya kemampuan untuk menjadi kaya sebab pemalas, tidak profesional, gampang menyerah, tidak disiplin dan seterusnya tapi berambisi menjadi kaya tanpa mengubah sikapnya, malah memakai jalur dzikir melulu dalam jumlah fantastis, maka tentu sangat wajar bila kepalanya panas dan orangnya agak stres. Sama juga dengan orang bodoh yang malas belajar, skill rendah, tidak peka terhadap orang lain, lalu berambisi menjadi tokoh yang disegani masyarakat dengan cara berdzikir terus menerus, maka wajar bila ujungnya hanya pusing dan emosional.

 

Apalagi bila dzikirnya memang tipe yang keras seperti dzikir yang disusun dalam suasana perang. Biasanya dzikir semacam ini, sering disebut hizib, isinya adalah tentang atmosfir permusuhan dan kebencian. Isinya memohon agar diri sendiri selamat dari serangan musuh sekaligus memohon agar semua musuhnya hancur, tercerai berai, celaka dan seterusnya. Lama kelamaan, atmosfir peperangan ini akan meresap dalam alam bawah sadar pembacanya sehingga seolah-olah dia sedang dalam peperangan terus menerus dengan tetangganya, dengan kawannya, bahkan saudaranya. Padahal sebenarnya kebanyakan masalah tersebut bukanlah peperangan namun hanya sekedar persaingan biasa, gesekan wajar atau hanya masalah komunikasi yang buruk. Akhirnya jiwa pembaca dzikir tersebut labil, temperamental, emosional, mudah stress dan akhirnya rawan sakit.

 

Ketika sudah demikian, lalu sering pembaca hizib tersebut menyangka bahwa dzikirnya berat dan panas. Padahal suasana mental yang negatif penuh kebencian itulah yang membuatnya tidak sehat. Andai dia mau berpikir positif terhadap konflik yang ada, mau berbesar hati memaklumi kekurangan orang lain, mau berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain, tidak memelihara sifat benci dan keinginan untuk menghancurkan orang lain, maka dia akan menjadi pribadi yang sehat, murah senyum dan adem.

 

3. Faktor niat

 

Secara agama, efek tidak nyaman itu juga wajar muncul sebab dzikir aslinya disyariatkan hanya untuk mendekatkan diri pada Allah, memohon ampun atas dosa yang kita lakukan, merendah kepada Allah dan seterusnya, bukan untuk tujuan aneh-aneh seperti di atas. Seharusnya malah meresapi makna dzikir dan menenggelamkan diri dalam keagungan wibawa ilahi, malah dibaca cepat, tanpa tadabbur, jumlahnya banyak, syaratnya ketat dengan tujuan ingin sakti, ingin kaya dan semacamnya, akhirnya wajar kalau stres. Itu hukuman dari Allah untuk mereka yang menyalahgunakan perintahnya. Segala amal diganjar sesuai niatnya, bila niatnya mendekat kepada Allah, maka ganjarannya adalah dekat kepada Allah. Bila niatnya aneh-aneh, maka ganjarannya juga aneh-aneh.

 

Dzikir yang dibahas di sini adalah apa pun yang dibaca berulang-ulang dalam jumlah banyak dengan kondisi mental seperti di atas. Entah itu berupa bacaan tahlil, tasbih, takbir, membaca ayat/surat tertentu dari al-Qur’an atau membaca shalawat. Efeknya akan sama saja kalau secara fisik dipaksa dan secara mental dan niat bermasalah. Jangan kira kalau membaca shalawat lantas tidak bakalan panas bila kondisinya seperti di atas, justru populer sekali cerita pembaca shalawat nariyah yang tidak kuat hingga efeknya aneh-aneh. Efek puasa sunnah senin-kamis, puasa dawud dan sunnah lainnya sama juga bisa seperti dzikir bila secara fisik dan mental bermasalah. Sejak kecil, saya sering mendengar orang yang berpesan agar jangan puasa senin-kamis sebab banyak yang menjadi stress. Itu nasehat setan tentu saja.

 

Yang jelas, seluruh efek negatif tersebut bukan karena dzikir atau amalannya tapi karena kesalahan seperti di atas yang dicampurkan pada dzikir atau amalan sunnah lainnya. Semua amalan sunnah itu sendiri adalah baik dan tidak punya efek samping apabila dibaca sesuai petunjuk dan sesuai peruntukannya. Siapa pun yang merutinkan amalan sunnah sesuai dengan cara yang disyariatkan, maka Allah akan membuatnya menjadi pribadi yang tenang, teduh, damai, sabar, dan sejuk. Orang sekitar akan merasakan kebaikan dalam dirinya dari pancaran auranya yang positif.

 

Sebaliknya, orang yang melakukan amalan sunnah tidak sesuai dengan peruntukannya, maka yang muncul adalah panas, gelisah, sakit, emosi dan aura negatif seperti aura yang dipancarkan para dukun atau “orang pintar”. Normalnya, kebanyakan orang akan bisa membedakan kontras antara wajah ahli ibadah yang menyejukkan dan wajah para dukun atau “orang pintar” yang suram. Demikian juga berbeda antara orang yang setiap malam shalat tahajud dan dzikir demi menggapai ridha Allah semata dengan yang melakukannya demi mencari kesuksesan duniawi. Keduanya sama-sama melakukan lelaku berat yang kebanyakan orang tidak mampu melakukannya tapi amalannya beda arah sehingga hasilnya pun berbeda, meskipun kadang bentuk amalannya sama.

 

Secara sunnatullah, Allah meletakkan kesuksesan dalam kerja keras dan bekal ilmu di bidang yang digeluti, bukan dengan wiridan dan amalan yang aneh-aneh tanpa diiringi usaha yang sepantasnya. Wirid dan doa itu memang perlu untuk menggapai cita-cita, tapi sewajarnya saja dan wajib dibarengi ikhtiyar yang maksimal. Di beberapa kitab memang ada kisah tentang orang miskin yang dia dan keluarganya kelaparan lalu dia bermunajat seharian di masjid kemudian ada malaikat berwujud manusia datang ke rumahnya membawa nampan berisi emas. Bila kisah itu benar, mungkin probabilitas terjadinya adalah 1:1.000.000.000 orang atau bisa lebih. Bila anda melakukan hal serupa, bukannya bekerja sebisanya malah hanya berdzikir tanpa henti, kemungkinan bukan hanya tambah lapar tapi terkena gangguan mental dan halusinasi.

 

Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.