Ketika membicarakan sifat Allah yang berupa tindakan (af’âl), semisal sifat istiwâ’, nuzûl (turun), majî’ (datang) dan sebagainya, ada beberapa orang yang memahami bahwa Allah itu bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini bukan hanya terjadi dewasa ini, namun sudah dimulai dari era klasik di sebagian kecil kalangan ahli hadits. Ibnu Rajab al-Hanbali (795 H) menceritakan bahwa sebagian ahli hadits di masa belakangan dari kalangan Hanabilah (pengikut Imam Ahmad) secara gamblang mengatakan bahwa Allah bergerak, dan bahkan mereka menisbatkannya pada Imam Ahmad sendiri, sayangnya semuanya tidak benar. Ia berkata:
ومنهم من يصرح بلوازم ذلك من إثبات الحركة. وقد صنف بعض المحدثين المتأخرين من أصحابنا مصنفاً في إثبات ذلك، ورواه عن الامام أحمد من وجوه كلها ضعيفة، لا يثبت عنه منها شيء.
“Sebagian ahli hadits ada yang terus terang menetapkan konsekuensi dari hakikat turunnya Allah, yakni penetapan adanya gerakan. Para ahli Hadits di masa belakangan dari kalangan kami (Hanabilah) membuat karangan untuk menetapkan itu dan mereka meriwayatkannya dari Imam Ahmad dari sanad-sanad yang seluruhnya lemah, tak ada satu pun dari sanad itu yang valid”. (Ibnu Rajab, Fath al-Bâry, juz IX, halaman 494).
Jadi, sebagian ulama ahli hadits bermazhab Hanbali memang mengatakan bahwa Allah bergerak. Mereka tampaknya acuh pada fakta bahwa sama sekali tak ada ayat atau hadis yang mengatakan bahwa Allah bergerak, dan bahwasanya bergerak adalah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh jism (susunan materi) yang terbatas dalam ruang. Sebab merekalah akhirnya muncul pernyataan sebagian orang bahwa banyak pengikut Imam Ahmad di masa belakangan beraqidah tajsîm (meyakini bahwa Allah berbentuk fisik).
Berbeda dengan mereka, para ulama Ahlussunnah menyatakan dengan jelas bahwa Allah tidak bergerak dan bahkan mustahil bergerak sebab Allah memang bukanlah jism. Mengatakan bahwa Allah bergerak hanya akan menodai kesucian Allah sebab melekatkan sifat yang menjadi ciri khas makhluk kepada Allah. Berikut ini adalah beberapa pernyataan mereka:
Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), sebagaimana dinukil oleh Ibnu al-Banna’ al-Hanbali (471 H):
ونقل عن ابن البناء في اعتقاد الإمام أحمد قوله: ولا يقال بحركة ولا انتقال
“Ibnu al-Banna’ berkata tentang hadis Nuzûl dalam aqidah Imam Ahmad: Tak boleh dikatakan turun dengan bergerak atau berpindah”. (Ahmad bin Hamdan, Nihâyat al-Mubtadi’în, 32)
Imam al-Thabari (310 H):
علا عليها علوّ مُلْك وسُلْطان، لا علوّ انتقال وزَوال.
“Allah Maha Tinggi di atas Arasy, seperti tingginya Raja dan Sultan, bukan tinggi dalam arti berpindah atau bergerak”. (Imam al-Thabari, Tafsîr at-Thabary, juz I, halaman 430)
Imam al-Baihaqi (458 H):
وَأَفْعَالُ اللَّهِ تَعَالَى تُوجَدُ بِلَا مُبَاشَرَةٍ مِنْهُ إِيَّاهَا وَلَا حَرَكَةٍ
“Tindakan Allah Ta’ala ada tanpa sentuhan dari-Nya kepada objek dan tanpa adanya pergerakan”. (Imam al-Baihaqi, al-Asmâ’ wa as-Shifât, juz II, halaman 308).
Imam al-Qurthuby (671 H):
والقاعدة تنزيهه عز وجل عَنِ الْحَرَكَةِ وَالِانْتِقَالِ وَشَغْلِ الْأَمْكِنَةِ.
“Kaidahnya adalah menyucikan Allah ﷻ dari gerakan, perpindahan, dan bertempat”. (Imam al-Qurthuby, Tafsîr al-Qurthuby, VI, 390)
Ibnu Abdil Barr (461 H):
وَقَدْ قَالَتْ فِرْقَةٌ مُنْتَسِبَةٌ إِلَى السُّنَّةِ إِنَّهُ يَنْزِلُ بِذَاتِهِ! وَهَذَا قَوْلٌ مَهْجُورٌ لِأَنَّهُ تَعَالَى ذِكْرُهُ لَيْسَ بِمَحَلٍّ لِلْحَرَكَاتِ وَلَا فِيهِ شَيْءٌ مِنْ عَلَامَاتِ الْمَخْلُوقَاتِ
“Kelompok yang menisbatkan diri pada sunnah telah berkata bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya!. Ini adalah perkataan yang tertolak sebab Allah yang Maha Tinggi penyebutannya bukanlah tempat bagi pergerakan dan tak ada dalam diri-Nya satu pun tanda-tanda kemakhlukan”. (Ibnu Abdil Barr, al-Istidzkâr, juz II, halaman 530).
Dalam kitab at-Tamhîd, Ibnu Abdil Barr menjelaskan alasan kemustahilan adanya gerakan dari Allah agak terperinci sebagai berikut:
وَقَدْ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا وَلَيْسَ مَجِيئُهُ حَرَكَةً وَلَا زَوَالًا وَلَا انْتِقَالًا لِأَنَّ ذَلِكَ إِنَّمَا يَكُونُ إِذَا كَانَ الْجَائِي جِسْمًا أَوْ جَوْهَرًا فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّهُ لَيْسَ بِجِسْمٍ وَلَا جَوْهَرٍ لَمْ يَجِبْ أَنْ يَكُونَ مَجِيئُهُ حَرَكَةً وَلَا نَقْلَةً
“Allah ﷻ telah berfirman ‘dan telah datanglah Tuhanmu dan para Malaikat berbaris-baris’, kedatangan-Nya bukanlah sebuah gerakan, pergeseran atau perpindahan sebab semua itu hanya terjadi apabila yang dating adalah susunan materi (jism) atau materi tunggal (jauhar). Ketika telah valid bahwa Allah bukanlah susunan materi atau materi tunggal, maka kedatangannya bukan berarti gerakan atau perpindahan”. (Ibnu Abdil Barr, at-Tamhîd limâ fî al-Muwattha’ Min al-Ma’ânî wa al-Asânîd, juz VII, halaman 137)
Imam an-Nawawi (676 H):
هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ أحَادِيثِ الصِّفَاتِ وَفِيهِ مَذْهَبَانِ مَشْهُورَانِ لِلْعُلَمَاءِ سَبَقَ إِيضَاحُهُمَا فِي كِتَابِ الْإِيمَانِ وَمُخْتَصَرُهُمَا أَنَّ أَحَدُهُمَا وَهُوَ مَذْهَبُ جُمْهُورِ السَّلَفِ وَبَعْضِ الْمُتَكَلِّمِينَ أَنَّهُ يُؤْمِنُ بِأَنَّهَا حَقٌّ عَلَى مَا يَلِيقُ بِاللَّهِ تَعَالَى وَأَنَّ ظَاهِرَهَا الْمُتَعَارَفُ فِي حَقِّنَا غَيْرُ مُرَادٍ وَلَا يَتَكَلَّمُ فِي تَأْوِيلِهَا مَعَ اعْتِقَادِ تَنْزِيهِ اللَّهِ تَعَالَى عَنْ صِفَاتِ الْمَخْلُوقِ وَعَنِ الِانْتِقَالِ والحركات وسائر سمات الخلق
“Hadits nuzûl ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Di dalamnya ada dua mazhab yang terkenal di kalangan ulama, yang telah diterangkan sebelumnya di bab kitab al-Îmân. Secara ringkas, salah satunya adalah mazhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ahli kalam bahwasanya hadis tersebut diyakini bahwa itu benar sesuai dengan pengertian yang layak bagi Allah Ta’ala dan bahwa makna lahirnya yang telah dikenal dalam diri kita bukanlah yang dimaksud, dan tidak juga ditakwil serta diyakini bahwa Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, perpindahan dan pergerakan dan seluruh tanda-tanda ke makhlukan”. (Imam an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘alâ Muslim, juz VI, halaman 36)
Ibnu Hajar al-Asqalâni (852 H):
فَمُعْتَقَدُ سَلَفِ الْأَئِمَّةِ وَعُلَمَاءِ السُّنَّةِ مِنَ الْخَلَفِ أَنَّ اللَّهَ مُنَزَّهٌ عَنِ الْحَرَكَةِ وَالتَّحَوُّلِ وَالْحُلُولِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْء
“Maka aqidah para imam Salaf dan ulama sunnah dari kalangan belakangan (khalaf) adalah bahwa sesungguhnya Allah disucikan dari pergerakan, perubahan dan bertempat. Tiada satu pun yang sama dengan-Nya”. (Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâry, juz VII, 124).
Demikianlah, tak terhitung jumlah pernyataan para ulama yang menjelaskan bahwa Allah tak bergerak sebab Allah bukanlah jism. Bahkan Qadli Abu Ya’la (458 H), yang oleh banyak ulama dikenal sebagai salah satu tokoh bermazhab Hanbali yang sangat terpengaruh aqidah tajsîm, mengatakan dengan tegas bahwa Allah tak bergerak. Ia berkata:
وقد وصفه النبي بالنزول إلى السماء الدنيا والعلو، لا على جهة الانتقال والحركة، كما جازت رؤيته، لا في جهة، وتجلی للجبل، لا على وجه الحركة والانتقال
“Nabi telah menyifati dengan nuzûl (turun) ke langit dunia dan sekaligus ‘uluw (Maha Tinggi), tetapi bukan dalam arti berpindah dan bergerak, seperti halnya bisa saja Allah dilihat tak dalam arah tertentu dan menampakkan diri pada gunung (dalam kisah Nabi Musa) bukan dalam arti bergerak dan berpindah”. (Ahmad bin Hamdan, Nihâyat al-Mubtadi’în, 32)
Masih banyak lagi yang bisa ditampilkan sebab ini adalah aqidah mayoritas ulama. Namun kadar ini sudah sangat cukup bagi mereka yang mencari kebenaran. Wallahu a’lam.
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember.
Artikel ini diambil dari https://islam.nu.or.id/post/read/94789/apakah-allah-bergerak
Penggunaan kata “Nuzul, Istawa dll” dalam hadits & Al Quran, apakah sebagai cobaan bagi umat Islam ?
Terima kasih Gus