Apakah Pakai Celana Melebihi Mata Kaki (Isbal) Otomatis Sombong?

Semua yang bicara soal fiqih, wajib paham tentang aspek ta’abbudi dan ta’aqquli. Ta’abbudi adalah aspek yang berada di luar ranah akal sebab penentunya hanyalah nash (teks ayat atau hadis). Adapun ta’aqquli adalah sesuatu yang bisa dinalar, sebab itu penentuannya adalah nalar itu sendiri.

Contoh praktis:
Najis adalah ranah ta’abbudi. Ketika nash sudah menetapkan sesuatu sebagai najis, maka secara fiqih diputuskan sebagai najis dan tak bisa dinegosiasi dengan akal. Misalnya: hewan yang mati tanpa sembelihan syar’i menurut nash adalah najis. Status ini sudah final tak bisa ditawar dengan akal lagi. Entah hewan tersebut masih segar sehingga menurut akal tak ada bedanya dengan yang disembelih atau sudah busuk sehingga berpenyakit.

Babi menurut nash adalah najis. Status ini juga sudah final. Alasan-alasan bahwa babi mengandung penyakit, cacing pita, perilakunya kotor dan sebagainya tak berpengaruh apapun pada hukum. Meskipun alasan-alasan itu terbukti tidak ada, maka hukumnya tetap najis secara fiqih.

Demikian juga dengan kewajiban iddah bagi perempuan yang ditinggal mati atau dicerai suaminya. Dia tetap wajib iddah berdasarkan nash yang ada, tak peduli meskipun melewati pemeriksaan kedokteran dia sudah tahu betul kondisi rahimnya sedang kosong (tidak hamil) sehingga kalau menikah lagi takkan ada keraguan nasab anak.

Karena status hukum ta’abbudi tergantung pada ada tidaknya nash, maka hal-hal yang tergolong ta’abbudi terbatas pada yang ada nash-nya saja. Jumlah ta’abbudi ini juga takkan bertambah hingga kapan pun sebab penentuannya bukan ranah ijtihad.

Adapun yang ta’aqquli adalah hal-hal umum yang bisa dinalar, seperti mafsadah (kerusakan), kezaliman, keadilan dan seterusnya. Contoh praktisnya: Bila semisal suatu hal nyata menimbulkan mafsadah, maka hal tersebut terlarang kecuali dalam kondisi tertentu yang meringankannya. Namun bila unsur mafsadah ini tak terbukti ada, maka sesuatu itu tak terlarang. Demikianlah kaidah yang berlaku dalam hal-hal yang ta’aqquli, selalu ada penentu hukum (illat) yang menentukan ada tidaknya sebuah putusan hukum.

Sekarang, kita beralih pada kasus kesombongan. Apakah kesombongan ini ta’abbudi ataukah ta’aqquli? Pembahasan ini akan berpengaruh pada cara kita memahami hukum isbal atau memakai pakaian melebihi mata kaki.

Bagi sebagian kelompok, berdasarkan beberapa nash umum tentang isbal, bila bawahan seorang lelaki menjulur di bawah mata kaki, maka berarti dia dianggap sombong. Tak peduli isi hatinya apa, yang penting tatkala dia isbal maka langsung dianggap sombong. Nalar seperti ini menunjukkan bahwa kesombongan dianggap sebagai ranah ta’abbudi yang tak bisa dijangkau akal tetapi diputuskan murni oleh nash.

Bagi kelompok lainnya tidak demikian. Menjulurkan bawahan di bawah mata kaki harus dilihat motifnya dulu di dalam hatinya. Bila motifnya adalah pamer pakaian atau pamer status sosial yang menunjukkan dia adalah kelas atas, bukan kelas pekerja kasar yang lumrahnya mengangkat bawahannya di atas maka kaki agar tak ribet sewaktu bekerja, maka hukumnya adalah haram. Niat pamer itulah yang menjadi wujud kesombongan. Sedangkan bila dalam hatinya tak ada motif kesombongan seperti itu, namun semata karena kebiasan yang berlaku umum, maka isbalnya tak mengapa dilakukan.

Bila kita mau melihat secara objektif, kelompok kedua adalah yang benar dalam hal ini. Kesombongan adalah sesuatu yang dapat dinalar (ma’qulul ma’na). Tanpa ada nash sekalipun, seseorang bisa mengidentifikasi ada tidaknya unsur kesombongan dalam suatu tindakan. Unsur-unsur itu seperti merasa dirinya unggul dan hebat, merasa orang lain lebih rendah, menolak hal yang sudah nyata benar dengan angkuh, dan sebagainya. Ini semua dapat dinalar dan diketahui ada tidaknya berdasarkan indikasi-indikasi yang sifatnya empiris.

Karena itu, penentuan kesombongan sama sekali tak memerlukan nash ayat atau hadis. Apakah fulan yang memakai jam tangan seharga ratusan juta rupiah dianggap sombong? Untuk menjawabnya tak perlu mencari hadis tentang jam tangan mahal, tapi cukup dengan melihat indikasinya.

Bila kita anggap kesombongan sebagai hal ta’abbudi yang bergantung sepenuhnya pada nash, maka kita takkan bisa menentukan suatu tindakan sebagai sombong atau tidak tanpa adanya nash. Dalam kasus jam tangan mahal itu, harus ada nash yang menyatakan bahwa itu masuk kategori sombong atau tidak. Dengan demikian, butuh jutaan nash untuk menghukumi jutaan perbuatan. Tetapi faktanya tidak demikian, hanya sedikit nash yang berbicara tentang kesombongan dan dari itu sudah cukup sebagai pedoman untuk menilai seluruh hal dengan cara qiyas (menganalogikan hukum).

Berlakunya qiyas dalam hal kesombongan adalah bukti tak terbantahkan bahwa tolok ukur kesombongan adalah ranah ta’aqquli. Bila ia adalah ta’abbudi, tentu saja tak bisa berlaku qiyas.

Dengan demikian, asumsi sebagian kelompok bahwa kesombongan dapat diputuskan keberadaannya semata karena nash belaka adalah asumsi yang salah. Dalam kasus isbal, ada tidaknya kesombongan hanya bisa diukur dengan ukuran yang dapat dinalar, seperti adanya indikasi pamer, angkuh dan sebagainya.

Salah apabila tetiba semua isbal langsung mendapat vonis sombong tanpa bisa ditawar lagi dengan alasan ada beberapa nash yang menyatakan bahwa isbal adalah sombong. Ini jelas merupakan pembacaan nash yang tidak tepat. Yang benar, isbal banyak terjadi karena motif sombong sehingga layak dilarang. Adapun bila tanpa motif sombong maka tak mengapa.

Karena itulah, Nabi sendiri pernah isbal, demikian juga Abu Bakr, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan mungkin banyak sahabat lainnya yang tak terdata. Di kalangan Tabi’in, Imam Abu Hanifah dan beberapa tokoh besar lain juga isbal. Sebab itulah, jangan heran bila para Ulama Syafi’iyah dan beberapa non-Syafi’iyah tak memutlakkan hukum isbal tetapi memerincinya sesuai ada tidaknya indikasi dan motif kesombongan.

Wallahu a’lam.

Penulis adalah Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember

Artikel ini diambil dari https://www.nu.or.id/post/read/98334/apakah-pakai-celana-melebihi-mata-kaki-isbal-otomatis-sombong

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.