Ilzam dalam ilmu debat adalah istilah untuk argumen yang digunakan semata untuk memunculkan konsekuensi buruk dari pendapat lawan. Misalnya berkata begini, kalau kamu berpendapat A, maka konsekuensinya sama saja kamu menganggap B, pahadal B itu jelas-jelas salah.
Ilzam ini adalah hal lumrah dalam diskusi para imam untuk membela pendapatnya sendiri dan menjawab kritik lawan. Saya beri contoh sederhana: Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa bismillah adalah bagian dari ayat pertama setiap surat al-Qur’an kecuali surat at-Taubah. Ulama mazhab lain memberi ilzam pada ulama Syafi’iyah dengan berkata: “Menjadikan yang bukan ayat al-Qur’an sebagai ayat adalah kafir loh”. Maksudnya, kalau kalian menjadikan bismillah sebagai bagian ayat, padahal bukan, maka kalian berarti menambah isi al-Qur’an dan itu kafir.
Ulama Syafi’iyah menjawab dengan melempar ilzam balik. Mereka berkata: “Kalau kalian menolak sebagian dari al-Qur’an, maka itu kafir”. Maksudnya, bismillah kan bagian ayat al-Qur’an, kalau kalian membuangnya malah jadi kafir.
Yang perlu dipahami, ini hanya adu ilzam saja. Sama sekali tidak ada ulama Syafi’iyah yang mengafirkan mazhab lain dan sama sekali tidak ada mazhab lain yang mengafirkan Syafi’iyah gegara beda pendapat soal status bismillah ini. Semuanya adalah pendapat salaf Ahlussunah wal Jamaah dan semuanya benar, hanya berbeda pendapat di meja diskusi.
Kasusnya sama dengan perdebatan ulama ahli tafwidh dan ahli takwil. Baik tafwidh mau pun takwil adalah pilihan yang diakui para ulama sebagai sikap resmi Ahlussunah wal Jamaah. Tapi kedua pihak memang pernah saling ilzam dalam ranah diskusi. Yang Ahli Tafwidh berkata bahwa ahli takwil “sok tahu” soal makna ayat mutasyabihat padahal Rasulullah tidak menjelaskan maknanya. Mau ditakwilkan bagaiamanapun, itu tetap pendapat pribadi yang tidak pernah diakomodir secara jelas oleh Rasul sehingga tidak ada jaminan kebenaran. Ilzam tersebut kemudian dibalas juga oleh Ahli Takwil bahwa ahli tafwidh sama saja salah sebab menganggap ayat al-Qur’an ada yang tak bisa dipahami sama sekali. Pahadal al-Qur’an kan hidayah, masak hidayah malah tak jelas maknanya sehingga semua takwilan (pemaknaan) dilarang? Namun bagaimana pun kedua kubu tak ada yang memvonis kubu lain sebagai ahli bid’ah yang sesat. Keduanya adalah salaf Ahlussunah wal Jamaah yang hanya berbeda dalam memahami ayat berikut:
(هُوَ ٱلَّذِیۤ أَنزَلَ عَلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِنۡهُ ءَایَـٰتࣱ مُّحۡكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتࣱۖ فَأَمَّا ٱلَّذِینَ فِی قُلُوبِهِمۡ زَیۡغࣱ فَیَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَاۤءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَاۤءَ تَأۡوِیلِهِۦۖ وَمَا یَعۡلَمُ تَأۡوِیلَهُۥۤ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّ ٰسِخُونَ فِی ٱلۡعِلۡمِ یَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلࣱّ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا یَذَّكَّرُ إِلَّاۤ أُو۟لُوا۟ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ)
[Surat Ali ‘Imran 7]
Saling ilzam dari kedua kubu soal boleh tidaknya takwil dalam ayat itu dan bagaimana cara membaca kata “War-Raskihuna” dapat kita temui dalam berbagai tafsir, baik klasik mau pun kontemporer. Tapi mau dibaca bagaimana pun, tidak ada vonis sesat sama sekali pada yang berbeda pendapat.
Beda cerita dengan Ibnu Taymiyah yang datang belakangan di abad ke-8 lalu memvonis sesat kedua kubu salaf di atas. Dia menganggap tafwidh sebagai pendapat ahli bid’ah dan ateis yang paling sesat. Dia juga menganggap takwil sebagai tindakan distorsi (tahrif) yang tidak dapat diampuni. Kritik pada kedua kubu Ahlussunah (pihak tafwidh dan takwil sekaligus) tidak pernah dilakukan selain oleh Ahli bid’ah semacam Mujassimah di abad-abad awal. Itulah posisi yang dipakai oleh Ibnu Taymiyah.
Salah besar kalau saudara Muhammad Atim menganggap bahwa ada ulama salaf Asy’ariyah yang menyesatkan Tafwidh. Tidak ada sama sekali. Yang ada hanya ulama ahli takwil yang menjawab ilzam dari ahli tafwidh. Tapi ujungnya hanyalah ikhtilaf biasa, tidak berujung pada vonis sesat seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taymiyah. Saya menulis ini bukan karena benci, tapi memang faktanya seperti yang saya tulis lalu mau dikata apa lagi? Aneh sekali kalau setiap ulasan ilmiah diartikan sebagai kebencian.