Ada keyakinan yang populer di sebagian kalangan kaum muslimin Indonesia bahwa hari Rabu terakhir bulan Shafar adalah hari yang teramat sial. Keyakinan ini didasarkan pada keterangan sebagian ulama tasawuf yang konon melihat turunnya ribuan bala’ (musibah) pada hari tersebut. Keterangan tersebut banyak diikuti dan diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh sebagian kalangan sehingga untuk menepis bala’ tersebut kemudian dilakukan beberapa adat istiadat yang dianggap ampuh untuk menanggulanginya.
Dari sudut pandang aqidah, keyakinan seperti itu sebenarnya justru membuka pintu bala’ itu sendiri sebab Allah memang menyesuaikan rahmat atas seorang hamba sesuai dengan prasangka hamba itu sendiri. Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi sebagaimana berikut:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
“Aku sesuai persangkaan hambaku tentang diriku.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Berdasarkan hadits itu, daripada meyakini hari tersebut sebagai hari sial, kenapa kita tak meyakininya sebagai hari penuh berkah saja? Meyakini hari Rabu sebagai hari berkah justru punya landasan aqidah yang kuat. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa hari Rabu adalah hari di mana Allah menciptakan nur (cahaya) alam semesta.
خَلَقَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ، …، وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ
“Allah Yang Maha Agung menciptakan tanah di hari Sabtu, … dan menciptakan cahaya di hari Rabu…” (HR. Muslim)
Di hadits sahih lainnya, seperti diriwayatkan Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, justru hari Rabu adalah hari di mana doa Nabi dikabulkan setelah sebelumnya berdoa mulai senin di masjid al-Fath. Akhirnya, Sahabat Jabir bin Abdullah apabila mempunyai perkara penting beliau berdoa di hari Rabu di antara shalat Dhuhur dan Ashar, yang dia buktikan itu sebagai waktu mustajabah.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ: دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ، مَسْجِدِ الْفَتْحِ، يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وَيَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ، فَاسْتُجِيبَ لَهُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ قَالَ جَابِرٌ: وَلَمْ يَنْزِلْ بِي أَمْرٌ مُهِمٌّ غائِظٌ إِلَّا تَوَخَّيْتُ تِلْكَ السَّاعَةَ، فَدَعَوْتُ اللَّهَ فِيهِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ، إِلَّا عَرَفْتُ الْإِجَابَةَ
Dari Abdurrahman bin Ka’ab, dia berkata: “Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah berdoa di masjid ini, masjid al-Fath, pada hari Senin, Selasa dan Rabu, kemudian dikabulkan di hari Rabu di antara waktu dua Shalat [Dhuhur dan Ashar]”. Jabir Berkata: “Tak pernah terjadi hal yang sangat penting bagiku yang aku sengaja menunggu waktu itu kemudian aku berdoa kepada Allah saat itu di antara dua shalat pada hari Rabu, kecuali setahuku pasti dikabulkan.” (al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, halaman 246)
Keistimewaan hari Rabu sebagaimana disebutkan di atas tak hanya berlaku pada tanggal tertentu tetapi berlaku sepanjang masa setiap minggunya, tak terkecuali hari Rabu terakhir bulan Shafar. Terkait dengan mukasyafah (penerawangan) sebagian tokoh Tasawuf bahwa hari Rebo Wekasan merupakan hari buntung, maka perlu diketahui bahwa tokoh Tasawuf tak seluruhnya meyakini demikian. Sebagian justru mengatakan bahwa hari Rabu secara umum adalah hari untung sebab penuh berkah. Imam al-Hafidz as-Sakhawi as-Syafi’i menceritakan tentang orang-orang shalih yang beliau temui. Ia bercerita tentang pengaduan hari Rabu pada Allah sebagai berikut:
وبلغني عن بعض الصالحين ممن لقيناه أنه قال: شكت الأربعاء إلى اللَّه سبحانه تشاؤم الناس بها فمنحها أنه ما ابتدئ بشيء فيها إلا تم
“Saya dengar dari sebagian ulama saleh yang kami temui, ia berkata: Hari rabu mengadu kepada Allah tentang anggapan sial orang-orang terhadapnya, maka Allah menganugerahkan bahwa apapun yang dimulai di hari Rabu, maka pasti akan sempurna”. (as-Sakhawi, al-Maqâshid al-Hasanah, juz I, halaman 575).
Berdasarkan mukasyafah positif di atas tentang hari Rabu yang ternyata membawa keberkahan, maka banyak kita dapati para kyai di pesantren memulai kegiatan belajar mengajar di hari Rabu. Sumber cerita Imam as-Sakhawi tersebut jelas bukan hadits sebab tak ada hadits yang berbunyi demikian sehingga pasti dari hasil mukasyafah beberapa waliyullah juga. Jadi, daripada memilih hasil mukasyafah yang hanya berpotensi membuat kita betul-betul sial sebab meyakini adanya kesialan, tentu lebih baik kita memilih mukasyafah yang berkata sebaliknya sehingga Allah akan mewujudkan anggapan positif kita itu menjadi kenyataan, sesuai hadits qudsi di atas. Kisah bahwa hari Rabu sebagai hari sial bisa dibilang “telah dicabut” dengan kisah ini.
Terlepas dari kisah-kisah para wali itu, memilih pesan yang berisi hal-hal positif adalah dianjurkan dalam syariat sebab Nabi kita tak menyukai tathayyur (mengikuti pertanda sial) dan tasya’um (meyakini sesuatu sebagai pembawa sial). Di masa Jahiliyah, banyak sekali tathayyur dan tasya’um ini, dan beliau melawan itu semua. Beliau mengajarkan umat Islam untuk ber-tafa’ul, yakni memberi kata-kata positif yang diharapkan terwujud. Dalam hadits sahih dijelaskan:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لاَ طِيَرَةَ، وَخَيْرُهَا الفَأْلُ» قَالُوا: وَمَا الفَأْلُ؟ قَالَ: «الكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ. رَواه البخاري
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada pertanda sial dan yang paling baik justru al-fa’l”. Mereka berkata: “Apakah al-fa’l itu?”. Rasul bersabda: “Kalimat yang baik yang kalian dengar”. (HR. Bukhari)
Inilah semangat yang dibawakan oleh Rasulullah untuk melawan dugaan-dugaan yang negatif menjadi optimisme dengan kata-kata yang baik (al-fa’l). Maka jadilah bagian dari perubahan dengan menyebarkan pesan positif ini. Rabu buntung itu dulu, sekarang waktunya diyakini bahwa Rabu itu hari untung. Wallahu a’lam.
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember.
Artikel ini diambil dari https://islam.nu.or.id/post/read/98526/rebo-wekasan-hari-untung-bukan-buntung