Yang saya tahu, inti ajaran tasawuf itu ada dalam tiga hal:
1. I’timad (berpegang teguh) pada Allah. Semua demi Allah, untuk Allah, karena Allah. Dalam inti pertama ini ada topik ikhlas, sabar, tawakkal, qana’ah (menerima apa adanya), raja’ (harapan), zuhud (menghilangkan unsur duniawi dalam hati) dan sebagainya.
2. Mewaspadai diri sendiri. Semua yang berasal dari diri sendiri harus dilihat dalam mode kecurigaan (su’dzon) sedangkan semua dalam diri orang lain dilihat dengan kacamata positif (husnudzon). Bahkan, nikmat Allah yang didapat sekalipun harus dicugai jangan-jangan itu makrullah (ujian kelalaian) atau istidraj (pembiaran untuk tersesat). Kalau perlu, jangan merasa lebih mulia dari anjing sekalipun. Topik muhasabah (introspeksi), taubah, mengekang hawa nafsu, khauf (takut), dan lain sebagainya masuk dalam inti kedua ini. Intinya, kalau masih ada perasaan mulia di hati sendiri dan malah mudah melihat kekurangan dalam diri orang lain, apapun alasannya, fakta atau dugaan, maka hati tersebut harus dianggap hina dan perlu direparasi.
3. Riyadlah (usaha keras dalam beribadah). Kedua poin di atas bagaikan membentuk sebuah mobil mewah yang menawan yang tidak punya lecet atau noda sedikitpun sebab selalu diawasi dengan seksama, sedangkan inti ketiga ini bagaikan membangun mesinnya supaya handal dan larinya kencang. Topik mujahadah, istiqamah, targhib, dan sebagainya masuk dalam inti ketiga ini.
Ada juga topik-topik lain seperti ma’rifah, muraqabah, fana’ dan sebagainya yang menjadi managemen tingkat lanjut setelah ketiga inti di atas dilalui. Saya tak menyebut soal pakaian, atribut, hitamnya jidat dan perilaku nyleneh bukan? Itu disengaja sebab memang bukan bagian dari inti, bahkan di pinggirnya saja tak masuk.
Sekarang, baik saya sebagai penulis atau anda sebagai pembaca sudah tahu itu semua. Lantas, apakah kita sudah bertasawuf atau berhak mengaku sufi? Ini pertanyaan bodoh. Apalagi terbesit perasaan hebat karena mengatahui ini semua, bodohnya makin berlipat.
Diambil dari facebok @Abdul Wahab Ahmad