Perihal Bertambah Tidaknya Keimanan Seorang Muslim

Ada polemik di antara ulama tentang bisa bertambah tidaknya iman seseorang. Oleh sebagian orang, secara berlebihan masalah ini bahkan dijadikan sebagai salah satu masalah pokok yang menentukan apakah orang lain termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah atau tidak. Polemik inilah yang menjadi salah satu tuduhan beberapa orang terhadap Imam Abu Hanifah sebagai pengikut aliran Murji’ah yang dianggap sesat oleh para ulama. Bagaimanakah sebenarnya?

Kelompok pertama kaum Muslimin berkata bahwa iman dapat bertambah atau berkurang. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Di antara mereka ada Imam Abu al-Hasan al-Asy’ariyang berkata:

وأن الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص

“Iman adalah ucapan dan tindakan, bisa bertambah dan berkurang.” (Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibânah, halaman 27)

Dasar bagi pendapat pertama ini adalah banyak ayat atau hadits yang menyatakan bahwa keimanan memang bisa bertambah dan berkurang, misalnya:

لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا

“Supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (QS. al-Mudatsir: 31)

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اهَُّ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerangkamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran: 173)

Adapun kelompok kedua kaum Muslimin, mereka berkata bahwa keimanan sama sekali tidak bisa bertambah. Mereka adalah sebagian ahli fiqih dan banyak ahli kalam. Di antara mereka ada Imam Abu Hanifah yang berkata:

الإيمان إقرار باللسان وتصديق بالجنان والإقرار وحده لايكون إيماناً لأنه لو كان إيمانا لكان منافقون كلهم مؤمنين … والإيمان لايزيدولاينقص

“Iman adalah pengakuan dengan lisan dan pembenaran dalam hati. Pengakuan dengan lisan saja tak cukup menjadi iman sebab bila pengakuan saja tentu semua orang munafik (yang berpura-pura Islam padahal tidak) akan dianggap beriman. … Iman tidaklah bertambah dan berkurang.” (Abu Hanifah, Matn al-Washiyyah, halaman 1)

Dasar bagi pendapat kedua ini adalah adanya banyak ayat atau hadits yang menyatakan bahwa iman hanyalah soal hati belaka, tanpa melibatkan perbuatan di dalamnya. Misalnya:

قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ

“Mereka (kaum Munafik) berkata: “Kami beriman.” Padahal hati mereka tidak beriman.” (QS al-Maidah: 41)

الْإِسْلَامُ عَلَانِيَةٌ، وَالْإِيمَانُ فِي الْقَلْبِ

“Islam adalah apa yang tampak, sedangkan iman berada di dalam hati.” (HR. Ahmad)

Demikian juga dalam hadits yang populer di karangan kaum Muslimin tentang rukun iman. Hadits tersebut menyebutkan bahwa iman adalah percaya sepenuhnya pada Allah, Malaikat, Kitab-kitab yang diturunkan Allah, para rasul, hari kiamat/hari kebangkitan, dan qadla’-qadar.

Seluruh dalil yang sedemikian adalah bukti tekstual bahwa keimanan hanyalah soal kepercayaan dalam hati, bukan ekspresi yang nampak. Karenanya, maka tidak relevan mengatakan iman bertambah atau tidak bertambah. Sekali percaya pada rukun iman, maka disebut orang beriman. Sekali ragu atau apalagi tak percaya, maka disebut orang kafir. Demikian argumentasi kelompok kedua ini dalam berbagai literatur mereka.

Sepintas, kedua kelompok tersebut berbeda pendapat secara diametral. Namun sebenarnya hal tersebut hanyalah perbedaan redaksional semata sebab berbeda dalam mendefinisikan apa yang disebut iman itu. Kelompok pertama menjadikan tindakan seorang hamba sebagai bagian dari definisi iman sehingga sudah maklum bahwa tindakan itu kadang bertambah di kala giat dan kadang berkurang di saat tidak giat atau melakukan maksiat. Bagi kelompok pertama ini, keimanan adalah lawan dari kemaksiatan sehingga makin sedikit maksiat berarti makin banyak kadar keimanannya dan begitu juga sebaliknya.

Sedangkan kelompok kedua tidak menjadikan tindakan seorang hamba sebagai bagian dari definisi keimanan, akhirnya mereka tak mengakui bahwa iman bisa bertambah atau berkurang. Bagi kelompok kedua ini, keimanan adalah lawan dari kekafiran sehingga tidak ada istilahnya agak beriman atau agak kafir, makin beriman atau makin kafir.

Kedua pandangan ini sebenarnya bisa dikompromikan sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi berikut ini:

قَالَ الْمُحَقِّقُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُتَكَلِّمِينَ نَفْسُ التَّصْدِيقِ لَا يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ وَالْإِيمَانُ الشَّرْعِيُّ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ بِزِيَادَةِ ثَمَرَاتِهِ وَهِيَ الْأَعْمَالُ وَنُقْصَانِهَا قَالُوا وَفِي هَذَا تَوْفِيقٌ بَيْنَ ظَوَاهِرِ النُّصُوصِ الَّتِي جَاءَتْ بِالزِّيَادَةِ وَأَقَاوِيلِ السَّلَفِ وَبَيْنَ أَصْلِ وَضْعِهِ فِي اللُّغَةِ

“Para pengkaji dari sahabat-sahabat kami yang ahli kalam berkata, Iman dalam arti pembenaran itu sendiri tidaklah bertambah dan berkurang. Sedangkan iman dalam perspektif syariat dapat bertambah dan berkurang dengan bertambah tidaknya aktualisasinya, yakni amal perbuatan. Mereka berkata bahwa ini adalah kompromi antara teks ayat-hadits yang mengatakan adanya pertambahan dan pengurangan serta pendapat ulama salaf di satu sisi dengan makna asal kebahasaan di sisi lain.” (Yahya Bin Syaraf an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, juz I, halaman 148).

Perbedaan sudut pandang seperti ini adalah semata perbedaan ijtihad yang tidak berkonsekuensi pada sesat atau tidaknya salah satu pihak. Keduanya bisa dikompromikan seperti di atas sebab kedua pihak tersebut sepakat bahwa tindakan dosa dapat berkonsekuensi pada adanya siksaan di akhirat dan tindakan baik dapat berkonsekuensi pada pemberian pahala yang semuanya bertingkat sesuai kadar dosa dan pahala masing-masing. Keduanya juga sepakat bahwa Muslim yang melakukan dosa besar tetaplah berstatus sebagai mukmin sedangkan non-Muslim yang melakukan kebaikan tetaplah berstatus sebagai kafir. Pada titik inilah kedua pendapat di atas bertemu dengan sempurna.

Namun bila mau dipilih mana perspektif yang paling unggul, nampaknya pandangan pertama yang dipilih oleh mayoritas ulama adalah yang paling tepat. Sebagaimana penjelasan Imam Nawawi, andai keimanan hanya difokuskan pada masalah hati semata tanpa mempertimbangkan amal perbuatan, maka faktanya keimanan tiap orang juga bertingkat-tingkat. Sudah maklum bahwa keimanan dalam hati Abu Bakar as-Shiddiq jauh lebih kuat daripada keimanan dalam hati orang pada umumnya. Ini berarti keimanan dalam makna keyakinan hati juga bisa bertambah dan berkurang. (Yahya Bin Syaraf an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, juz I, halaman 149). Wallahua’lam.

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.

Artikel ini telah diterbitkan di https://islam.nu.or.id/post/read/96042/perihal-bertambah-tidaknya-keimanan-seorang-muslim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.