Definisi Jisim Versi Siapa Yang Dipakai?
Saya sudah berulang kali menulis soal definisi jisim hingga sampai pada tahap kebosanan. Tetapi tak masalah selama itu berguna bagi kawan-kawan yang barangkali tidak sempat membaca soal ini.
Sekarang, saya ingin mengulas syubhat para Taymiyun soal definisi jisim seperti yang salah satunya anda lihat di SS berikut. Dimulai dari Syaikh Ibnu Taymiyah dalam karya-karyanya kemudian diikuti secara taklid buta oleh para pengikutnya, seringkali definisi jisim dinarasikan sebagai sesuatu yang tidak disepakati, masih debatable atau ada banyak versi. Salah satu definisi yang kemudian mereka kemukakan adalah al-maujud atau syai’un. Mari kita ulas definisi siapakah itu?
Dalam SS ini, komentator Taymiyun satu ini menggiring opini bahwa di maqalatul islamiyin disebutkan bahwa jisim ada belasan makna. Ini framing yang menyesatkan seolah-olah Imam Abul Hasan al-Asy’ari sebagai penulis kitab tersebut mengakui kebenaran semua definisi itu. Yang benar adalah, dalam kitab maqalatul islamiyin, Imam Abul Hasan al-Asy’ari menukil perdebatan para mujassimah yang bermacam-macam tentang jisim Allah. Beliau menulis:
اختلفت المجسمة فيما بينهم في التجسيم وهل للبارئ تعالى قدر من الأقدار؟ وفي مقداره على ست عشرة مقالة:
“Para Mujassimah berbeda pendapat di antara mereka tentang ajaran tajsim (menjisimkan Allah) dan apakah Allah Ta’ala mempunyai ukuran tertentu? Tentang ukuran Allah ada 16 versi pendapat”.
Jadi, yang disebut belasan definisi oleh komentator di SS ini sesungguhnya adalah enam belas pendapat dari kalangan mujassimah tentang ukuran Allah. Ada yang bilang Allah tak lebih besar dari gunung Uhud, ada yang bilang tidak terbatas, ada yang bilang sebesar alam, ada yang bilang proporsional tak terlalu besar atau terlalu kecil, dan banyak versi lainnya bisa anda baca sendiri. Semua itu adalah khayalan sesat para mujassimah.
Lalu siapakah yang mengatakan jisim adalah al-maujud (sesuatu yang eksis) atau syai’un (sesuatu) seperti yang disinggung oleh komentator kita ini? Imam Abul Hasan mengatakan:
فقال هشام بن الحكم: أن الله جسم محدود عريض عميق طويل طوله مثل عرضه وعرضه مثل عمقه …. وحكي عنه أنه قال: هو جسم لا كالأجسام ومعنى ذلك أنه شيء موجود.
“Hisyam bin al-Hakam berkata: Sesungguhnya Allah adalah jisim yang mempunyai batasan fisik; lebar, tebal dan panjang. Panjangnya sama dengan lebarnya dan lebarnya sama dengan tebalnya. … Dan diceritakan darinya bahwa dia berkata: Allah adalah jisim yang tidak menyerupai jisim-jisim lainnya, maknanya adalah ALLAH ADALAH SYAI’UN MAUJUDUN (sesuatu yang eksis).”
Nah sudah jelas bukan yang mengatakan bahwa jisim adalah syai’un maujudun adalah Hisyam bin Hakam, salah satu pimpinan Mujassimah yang beraliran Syi’ah. Dialah yang dirujuk oleh komentator bernama akun Alfan Edogawa ini. Alfan rasanya tidak akan sepakat pada bagian pendapat Hisyam yang menyebut Allah bertentuk kubus, tapi dia jelas sepakat padanya yang menyebut bahwa jisim adalah syai’un maujud.
Seperti yang selalu saya ulang-ulang, kebiasaan mujassim adalah menyamakan antara makna jisim dan wujud sehingga siapa pun yang menolak penjisiman Allah akan dikesankan menihilkan wujud Allah. Padahal antara wujud dan jisim adalah dua hal yang jauh berbeda. Semua eksistensi yang masuk dalam kategori Jauhar atau pun Aradl adalah wujud, tak ada yang menyebutnya tidak wujud, tetapi semua orang berakal tahu bahwa jauhar mau pun aradl bukanlah jisim.
Demikian pula pemlintiran mereka terhadap kata syai’un atau sesuatu. Segala yang dapat diceritakan atau dijadikan subjek pembicaraan adalah syai’un, tapi tidak semua syai’un adalah jisim. Anda bisa berbicara tentang Allah, tentang sifat-sifat yang tidak mungkin wujud pada Dzat Allah, tentang ide, tentang apa pun yang ada di semesta bahkan tentang ketiadaan murni. Semua itu adalah syai’un dalam istilah Arab. Tetapi anda tidak dapat mengatakan bahwa semua itu adalah jisim. Jelas bedanya bukan?
Tentang akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang seharusnya menjadi rujukan, imam Abul Hasan Al-Asyari dalam kitab yang sama menukil:
وقال أهل السنة وأصحاب الحديث: ليس بجسم ولا يشبه الأشياء
“Ahlussunnah dan Ahlul Hadis berkata: “Allah bukanlah jisim dan tidak menyerupai segala sesuatu (syai’un)”.
Dari nukilan itu dapat diketahui bahwa ketika ahlussunnah dan ahli hadis menyatakan bahwa Allah bukan jisim, tidak mungkin makna yang mereka maksud adalah Allah bukan Maujud atau bukan Syai’un. Semua sepakat bahwa Allah maujud dan Allah adalah syai’un, tetapi jangan diplintir seolah semua sepakat bahwa Allah jisim.
Begitulah tipu daya mujassimah dari dahulu terhadap orang awam. Mereka sengaja menyamarkan makna jisim pada makna lain yang disepakati agar lawan bicaranya tidak berani menggugat. Bila ada ahlussunnah yang berkata bahwa Allah bukan jisim, langsung saja mereka bilang: “Berarti kamu mengatakan bahwa Allah tidak ada”. Ketika ahlussunnah menerangkan sifat-sifat Allah yang tanzih (suci dari sifat kejisiman), maka mereka langsung berkata: “itu adalah sifat-sifat al-ma’dum (sesuatu yang tidak ada).
Sudah paham bukan jebakan mereka?. Semoga bermanfaat.