Layak Atau Tidaknya Sebuah Sifat Disandarkan Kepada Allah

LAYAK ATAU TIDAKNYA SEBUAH SIFAT DISANDARKAN PADA ALLAH

Oleh: Abdul Wahab Ahmad

Fulan:
Kira kira bisa enggak tetap menetapkan apa yg Alloh taala tetapkan atas dirinya dengan meyakini bahwa semua itu tetap dalam koridor yaliiqu bijalalihi, (sesuai dengan keagungannya) dan sudah pasti menyelisihi makhluqNya,

Kemudian tanpa harus banyak mempertanyakan klo Alloh begitu berarti akan begini dan begitu yaitu kemungkinan kemungkinan yg berlaku bagi makhluq yg terikat ruang dan waktu..

Qultu:

Pernyataan “menetapkan apa yg Alloh taala tetapkan atas dirinya dengan meyakini bahwa semua itu tetap dalam koridor yaliiqu bijalalihi, (sesuai dengan keagungannya) dan sudah pasti menyelisihi makhluqNya” adalah pernyataan benar tetapi dapat berarti salah dalam prakteknya. Perbedaannya ada pada penafsiran “koridor yaliiqu bihi” (koridor apa yang layak disandang Allah). Sebagian orang menganggap bahwa Allah berbentuk jisim bukanlah hal yang bermasalah dan merupakan hal yang layak bagi Allah asalkan bentuknya tak mirip makhluk. Tentu klaim kelayakan ini sangat bermasalah sebab hanya menafikan mumatsalah (kemiripan) bukan musyabahah (keserupaan) antara Allah dan makhluk. Perbedaan yang ditetapkan di sini bukan perbedaan esensial, hanya setara dengan perbedaan dinosaurus dan semut.

Sebagian lagi tanpa ragu menetapkan adanya batasan (حد) bagi Allah asalkan dimaknai batasan itu sangat besar, misterus dan berbeda dengan makhluk. Bagi mereka, dengan mengatakan “batasannya berbeda” ini sudah layak bagi Allah. Tentu bagi banyak orang lain, pernyataan ini sangat bermasalah sebab yang namanya batasan sebesar apapun dan sebeda apapun tetaplah sifat kekurangan sehingga tak layak disandangkan kepada Allah.

Dari perbedaan penafsiran terhadap hal yang layak dan tidak inilah semua perdebatan muncul. Perlu diketahui bahwa Allah dan Rasulullah sama sekali tidak pernah sekalipun menerangkan bahwa yang layak dan tak layak bagi Allah ada sekian perkara sehingga para ulama tak perlu berdebat lagi. Yang ada hanyalah kepastian kalau Allah bersifat sempurna dan maha suci dari sifat kekurangan. Batasan mana sempurna dan mana yang kurang ini dilakukan dengan dalil aqli bukan dalil naqli sebab sudah jelas tak ada dalil naqlinya. Semua orang yang mengatakan ini layak atau tidak layak, dari pihak manapun dia, maka dia sedang menetapkan dengan dalil aqli. Tinggal diadu saja argumentasinya untuk menemukan siapa yang paling tepat.

Sebagai informasi, jangan ada yang mengira bahwa pembahasan seperti ini hanya dikenal dalam dunia akidah Asy’ariyah yang terbukti sangat rasional. Di kalangan Salafi-Wahabi yang literalis juga ada perdebatan seperti ini sebab hal seperti ini memang urusannya rasio. Semua yang punya rasio akan membahasnya. Kita lihat misalnya fatwa Bin Baz dan Ibnu Utsaimin berikut:

Bin Baz dalam Majmu’ Fatawanya menjelaskan bahwa Dzat Allah punya bayangan yang layak bagi-Nya:

فهل يوصف الله تعالى بأن له ظلا؟
ج: نعم كما جاء في الحديث، وفي بعض الروايات «في ظل عرشه » لكن في الصحيحين “في ظله”، فهو له ظل يليق به سبحانه لا نعلم كيفيته مثل سائر الصفات
“Apakah Allah disifati punya bayangan?
Jawab: Ya betul seperti yang ada dalam hadis. Dalam sebagian riwayatnya ada kalimat “dalam bayangan Arasynya” tetapi dalamm Bukhari Muslim disebutkan “dalam bayangannya”. Maka ini adalah bayangan yang layak bagi Allah yang kita tak tahu kaifiyahnya, seperti halnya semua sifat lain”.

Sedangkan Ibnu Utsaimin dalam Syarah Riyadlus Shalihinnya menjelaskan:

والمراد بالظل هنا: ظل يخلقه الله عز وجل يوم القيامة يظلل فيه من شاء من عباده، وليس المراد ظل نفسه جل وعلا؛ لأن الله نور السموات والأرض، ولا يمكن أن يكون الله ظلاً من الشمس، فتكون الشمس فوقه وهو بينها وبين الخلق، ومن فهم هذا الفهم فهو بليد أبلد من الحمار؛ لأنه لا يمكن أن يكون الله عز وجل تحت شيء من مخلوقاته، فهو العلي الأعلى، ثم هو نور السموات والأرض…
كيف يكون المراد بالظل ظل الرب عز وجل؟! لكن كما قلت: بعض الناس أجهل من الحمار، لا يدري ما يترتب على قوله الذي يقوله في تفسير كلام الله وكلام رسوله صلى الله عليه وسلم، ولا يمكن أن يريد الرسول عليه الصلاة والسلام هذا.
“Yang dimaksud bayangan di sini adalah bayangan yang diciptakan Allah di hari kiamat yang menaungi hambanya yang dikehendaki, bukan bayangan Allah sendiri sebab sesungguhnya Allah adalah cahaya langit dan bumi. Dan, tidak mungkin Allah punya bayangan dari matahari sehingga berarti matahari ada di atas-Nya dan Dia berada di antara matahari dan makhluk lain. SIAPA YANG MEMAHAMI DEMIKIAN MAKA DIA LEBIH DUNGU DARI KELEDAI sebab tak mungkin Allah di bawah satupun makhluknya. Dia adalah Yang Maha Tinggi kemudian Dia juga cahaya langit dan Bumi….

Bagaimana bisa yang dimaksudkan dengan bayangan adalah bayangan Allah? Tetapi seperti yang saya bilang sebelumnya SEBAGIAN ORANG LEBIH DUNGU DARI KELEDAI. DIA TAK MENGERTI APA KONSEKUENSI PERKATAANNYA yang dia katakan untuk menafsirkan Kalamullah dan sabda Rasulullah. Tak Mungkin Rasulullah bermaksud demikian”.

Nah… Dari kedua fatwa ulama Salafi-Wahabi yang bertentangan itu sekarang para pembaca paham bukan? Meskipun mereka semua literal, tetapi perdebatan soal layak tidak layak ini tetap ada dan selalu melibatkan dalil aqli dalam memahami dalil naqli.

Dalam kasus “bayangan Tuhan” di atas, Bin Baz mengatakan bahwa Allah layak disebut punya bayangan asal bayangan yang layak baginya sedangkan Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa menyifati Allah dengan punya bayangan adalah mustahil sebab ada konsekuensi dari penyifatan ini, yaitu ada makhluk yang tempatnya lebih tinggi dari Allah padahal Dia adalah yang paling tinggi. Adapun menurut Ahlussunnah (Asy’ariyah-Maturidiyah), benar bahwa Allah mustahil disifati punya bayangan akan tetapi bukan karena alasan tempat Allah seperti alasan Ibnu Utsaimin itu sebab Allah sama sekali tak bertempat dalam ruang manapun. Ia dilihat di akhirat tanpa kaifiyah (tatacara tertentu) dan tanpa perlu batasan arah. Semua ini ada dalil naqlinya yang dibaca dengan dalil aqli yang tepat.

Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.