Umumnya pencitraan itu terkesan negatif. Dalam ilmu tasawuf masuk kategori riya’ (ingin dilihat orang) atau sum’ah (ingin dikenal orang).
Tapi sebenarnya yang negatif hanyalah bila dilakukan dalam konteks ibadah. Riya’ atau sum’ah dalam ibadah bisa menggugurkan pahala, bahkan disebut sebagai syirik kecil karena bukannya beribadah ikhlas demi Allah malah juga demi makhluk.
Adapun pencitraan dalam urusan duniawi maka tak masalah. Caleg, capres, cawapres, atau calon apapun yang mengharuskan untuk pencitraan di banner-banner, baliho atau mimbar orasi supaya dipilih, pelamar kerja yang harus pencitraan di surat lamarannya supaya diterima, pekerja jasa yang harus pencitraan di iklan-iklan promosi, itu semuanya tak tercela sedikit pun. Justru mencela itu semua sebagai perbuatan tercela adalah salah.
Pekerjaan dunia (apapun itu, meskipun berhubungan dengan ibadah semisal jasa haji dan umroh atau semacamnya) bukanlah masuk kategori ibadah sehingga memang sejak awal tujuannya bukan karena Allah tetapi karena tujuan duniawi atau profit. Karena itu, maka konsep riya’ atau sum’ah tak masuk di wilayah ini. Kalau dipaksa memasukkan bab riya’ di wilayah ini malah lucu sebab akan dikata bahwa suatu tindakan duniawi hilang pahalanya karena tak ikhlas, padahal pekerjaan itu memang sama sekali tak berpahala dan tak harus ikhlas. Tak semua perbuatan dituntut ikhlas atau dilakukan karena Allah; kita makan minun, buang kotoran, kebelet kawin, mandi, dan urusan duniawi lain sama sekali tak perlu ikhlas karena Allah, tak nyambung malah.
Barulah bila pekerjaan duniawi ini ada unsur lillahi ta’ala (karena berjuang untuk memenuhi syariat Allah), maka ada unsur pahala di sana yang besarannya akan dikalkulasi sesuai prosentase niat karena Allah dan karena duniawinya. Ini wilayah malaikat, kita tak perlu ikut menghitung, apalagi bila itu pekerjaan orang lain.
Diambil dari FB Post @Abdul Wahab Ahmad