Tasawuf dan Thariqat

Sekitar dua tahun lalu dalam mata kuliah pengantar studi Islam, pernah suatu ketika saya memberi tugas kepada sekelompok mahasiswa agar membahas Tasawuf dan segala yang berkaitan dengannya. Hasilnya, mereka menyajikan sebuah makalah yang cukup tebal, lebih dari 20 halaman yang mengupas definisi, asal muasal, perkembangan hingga ajaran tasawuf. Makalah tersebut ditulis rapi lengkap dengan buku referensinya dan dipresentasikan dengan baik oleh kelompok mahasiswa yang bersangkutan. Namun, alih-alih senang saya justru merasa sangat dongkol di bangku dosen, tak kuat rasanya mendengar apa yang mereka presentasikan. Mereka menampilkan tasawuf dari sudut pandang serba negatif bagai seorang aktivis gender yang membahas tentang poligami; berasal dari agama lain lah, ajarannya tak berdasar dari sunnah lah, tokohnya nyleneh lah, mengajak menyatu dengan Allah lah dan seterusnya.

Dalam hati saya sempat marah. Anak-anak bau kencur yang isi Ihya’ Ulumiddin (al-Ghazali) saja tak kenal, indahnya al-Hikam (Ibnu Atha’illah) tak merasakan, bahkan bahasa Arab saja tak mengerti, kok dengan pedenya bicara negatif tentang tasawuf! Itu yang sesaat terlintas di pikiran saya. Akhirnya saya sadar bahwa kesalahan ada di pihak saya; Sayalah yang memberi tugas itu, yang sebelumnya tak menunjukkan mana saja referensi yang layak dikutip, yang seharusnya membimbing mereka yang dalam hal ini kebetulan belum tahu apa-apa. Wajar saja, kelas saya saat itu kebetulan bukan kelas yang biasanya ditempuh alumni pesantren, namun kelas umum yang biasa ditempuh lulusan SLTA.

Kali ini sama, saya membaca beberapa status di dunia maya yang membully Ustadz Abdul Somad عبد الصمد sebab ketahuan berbaiat pada thariqat Naqsyabandiyah, sebuah thariqat sufi ternama. Bukannya saya mau bilang mereka ngawur, tidak, sebab saya tahu mereka punya referensi yang sebelumnya dibaca, sama seperti halnya mahasiswa saya itu. Hanya saja, sebab bukan ahlinya, mereka tak bisa membedakan mana emas dan mana besi kuning, mana berlian dan mana kaca, mana kulit asli dan mana imitasi.

Banyak sekali buku yang mengkritik tasawuf habis-habisan. Buku-buku itu semua (sebagian berbahasa Arab) mengkaji tasawuf seperti gaya para orientalis, ilmuwan non-muslim yang mempelajari Islam. Dozy, Nicholson, Goldziher, Von Kremer adalah beberapa orientalis yang berpendapat miring tentang tasawuf dan menjadi rujukan di antara orientalis dan beberapa peneliti umum. Mereka menganggap bahwa tasawuf itu adalah sebuah ajaran dalam tubuh islam yang terpengaruh dari ajaran agama lain, meskipun mereka tak sependapat apakah itu Buddha, Majusi, Kristen atau lainnya. Maklum lah, mereka kan non-muslim, outsider yang hanya melihat kulit-kulitnya saja. Tapi aneh bin ajaib, beberapa penulis muslim juga menempuh jalan yang sama dengan orientalis itu, sebutlah misalnya Syaikh Shalih Fauzan (dalam Haqiqat as-Shufiyah), Ahmad bin Abdul Aziz al-Hushain (dalam As-Shufiyah al-Ghazw al-Mudammir) dan banyak penulis lain yang menisbatkan diri pada Salafi. Dari buku-buku tersebutlah artikel-artikel lepas di internet itu bermunculan hingga dianggap sebagai kebenaran oleh pembaca yang tak paham betul soal ini.

Bicara tentang tasawuf bisa sangat lama sebab isinya sangat luas dan prakteknya di lapangan sangat beragam. Tapi sebagaimana posting saya yang lain di facebook, saya berusaha membuatnya sesimpel dan seringan mungkin, yah dengan konsekuensi beberapa teman yang hebat akan berkomentar bahwa saya menyederhanakan masalah, hehehe… Yang penting ada gunanya bagi pembaca umum, itu saja target saya.

Tasawuf itu ajaran tentang managemen hati (tazkiyatun nafs) dan riyadlah (usaha keras dalam beribadah). Intinya adalah bagaimana supaya seorang hamba (biasa disebut salik) menjadi lebih dekat kepada Allah. Bagaimana cara menjadi ikhlas, tak terpengaruh godaan duniawi, tak punya perangai atau pikiran negatif, bagaimana menjaga hati, lisan, tindakan dan birahi, bisa bersyukur dalam segala kondisi, giat beribadah, takut luar biasa untuk melanggar perintah Allah dan lain sebagainya adalah materi-materi yang diajarkan dalam ilmu tasawuf. Sesat? Tentu tidak, bahkan sebaliknya seorang muslim tak lengkap tanpa tahu itu semua.

Tasawuf berasal dari ajaran al-Qur’an dan Hadis, bahkan tak boleh orang mengaku sufi kalau pengetahuan tentang keduanya masih minim. Imam besar tasawuf, Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata:

من لَمْ يحفظ الْقُرْآن وَلَمْ يكتب الْحَدِيث لا يقتدى بِهِ فِي هَذَا الأمر ، لأن علمنا هَذَا مقيد بالكتاب والسنة (الرسالة القشيرية)

Siapa yang tak menghafal al-Qur’an dan tak mengoleksi hadis, maka ia tak boleh diikuti dalam urusan tasawuf ini sebab ilmu kami ini terikat dengan al-Qur’an dan Sunnah. (Risalah Qusyairiyah).

Selain kedua dasar utama tersebut, ajaran tasawuf juga terinspirasi dari sikap dan perilaku agung para sahabat Nabi. Para murid-murid langsung Rasulullah itu menjalankan agama secara luar biasa hebat, kalamnya berupa hikmah, tindakannya menjadi teladan dan ketekunannya sama sekali bukan level generasi selanjutnya. Beberapa orang yang menuduh riyadlah shufiyah berlebihan seolah obat yang menjadi racun karena over dosis; salat kok banyak banget, puasa kok lama banget, wiridan kok jumlahnya gila banget dan seterusnya lalu mengesankan kalau itu bid’ah tentu belum kenal betul dengan para sahabat Nabi. Tentang riyadlah para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in yang luar biasa bisa dibaca sendiri misalnya di Iqamatul Hujjah ‘Ala ‘Anna al-Iktsar min at-Ta’ abbud Laisa Bibid’ah karya Syaikh al-Laknawi, pakar hadis dari India.

Di kitab ini disebutkan bagaimana tokoh-tokoh besar ada yang beribadah sepanjang malam, mengkhatamkan al-Qur’an dalam sekali shalat, shalat seribu rakaat dalam semalam dan hal luar biasa lainnya. Loh kok nutut? Gak mungkin ah… Mungkin ada yang kepikiran demikian. Syaikh al-Laknawi menjawab bahwa Waliyullah punya alokasi waktu yang berbeda dengan orang biasa. Mereka bisa melakukan apa yang tak bisa dilakukan oleh orang lain di waktu yang sama. Yah… wajar saja namanya juga Waliyullah. Hanya orang yang terlalu keras kepala yang tak percaya adanya karamah bagi para wali, dikiranya hanya ashabul kahfi yang diberi kemampuan ajaib (tidur selama 300 tahun, QS. al-Kahfi: 25) atau pelayan Nabi Sulaiman yang sakti (bisa mendatangkan singgasana Bilqis dari kerajaan Saba’ ke aula kerajaan Nabi Sulaiman dalam sekejap mata, QS. an-Naml: 40) dan Siti Maryam saja yang diberi pemberian tanpa usaha (berupa makanan tiap hari sewaktu beribadah di mihrab masjid sendirian, QS. Alu Imran: 37). Bila tertarik dengan kisah-kisah luar biasa para Waliyullah, silakan baca Jaami’ Karamaat al-Auliya’ karya Syaikh Yusuf An-Nabhani (Kakeknya Taqiyuddin an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir. Duh sayang sekali cucunya tak berada di rel yang sama dengan sang Kakek).

Pada awalnya, belajar tasawuf itu sederhana, cukup dengan mengaji kepada para ulama seperti halnya belajar ilmu lain. Lama-lama, muncul semacam “sekolah” yang terorganisir dengan ikatan guru murid yang lebih intens dan kurikulum yang ketat. Nah.. “sekolah” inilah yang kemudian dikenal sebagai thariqah/thariqat/tarekat. Di dalamnya ada seorang guru utama yang disebut Mursyid yang harus dipatuhi oleh murid-muridnya dan seperangkat wiridan khusus yang dibaca hingga puluhan ribu kali serta lelaku tertentu sesuai arahan Mursyid yang disesuaikan dengan kebutuhan tiap murid. Yang syahwatnya tinggi disuruh puasa, yang pemalas disuruh bangun malam, yang sombong disuruh memakai pakaian jelek dan lain sebagainya. Untuk meneguhkan kesungguhan murid, dilakukanlah baiat kepada Mursyid. Yang membedakan thariqah satu dan lainnya, selain nama pendirinya, biasanya adalah wiridannya; sebagian menganjurkan baca ini, sebagian baca itu. Bacaan itu kebanyakan ma’tsur (dari Nabi) dan ada juga yang tidak ma’tsur tetapi tetap bagus dan masuk kategori dalil umum, misalnya shalawat Fatih. Ini sesat? Ya tidak lah lawong berdasar kok. Bid’ah? Ya nggak lah, sama seperti metode pembelajaran modern yang macam-macam namanya itu dan jenjang pendidikan yang beragam itu berikut semua istilah keilmuan yang semuanya tak ada di masa Nabi, masa dibilang bid’ah? kayak kurang kerjaan saja.

Salah satu thariqah yang mu’tabar (diakui) adalah thariqah Naqsyabandiyah, yang menurut berita juga diikuti oleh ust Abdul Somad. Para ulama di Indonesia sejak dahulu banyak yang mengikuti thariqah ini. Tak heran, kitab Tanwirul Qulub karya Syaikh Amin al-Kurdi menjadi salah satu kitab yang diajarkan di beberapa pesantren di tanah air. Syaikh Amin al-Kurdi sendiri adalah seorang mursyid Naqsyabandiyah yang terkenal dengan aneka karamah, bahkan konon ada yang meminta doa darinya supaya sembuh dari penyakit yang sedang diderita, maka langsung sembuh saat itu juga. Untuk mempelajari siapa saja ulama terkemuka yang ikut thariqah Naqsyabandiyah, silakan dibaca At-Thariqah an-Naqsyabandiyah wa A’lamuha karya Dr. Muhammad Ahmad Dernaiqah.

Ada juga thariqah tanpa nama khusus, sekedar berupa ajaran sederhana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Saya termasuk pengikut thariqah anonim ini. Yang guru saya pesankan di pesantren dulu adalah lima hal utama: 1. Mengajar atau setidaknya belajar. 2. Istiqomah. 3. Shalat berjamaah. 4. Membaca al-Qur’an, 5. Shalat witir. Itulah thariqah yang diajarkan guru saya, al-Mukarram KHR. Abdul Mujib Abbas dari Buduran Sidoarjo. Dengan amalan ini saya berharap bisa bertetangga dengan beliau, murabby ruhi, kelak di akhirat. Amin. Beda lagi dengan kawan saya, juga sesama dosen di IAIN Jember. Ajaran thariqah yang ia dapat dari gurunya adalah istiqomah mengajar. Akibatnya, tak peduli ada undangan apapun, rapat apapun, kalau sudah waktunya mengajar ya ia sebisa mungkin pergi mengajar. Thariqah anonim seperti ini juga banyak meski sepertinya sedikit yang meneliti.

Lalu, apakah tasawuf identik dengan wihdatul wujud (hamba menyatu dengan Tuhan), hulul (Tuhan menyatu dengan hamba) atau manunggaling kalo gusti? Tidak, sama sekali tidak! Hanya segelintir Shufi, sedikit sekali, yang beberapa pernyataannya mengesankan demikian. Itupun tak bisa dipahami secara harfiah sebab hanya mereka yang tahu maksudnya. Biasanya para ulama yang objektif memahami ungkapan: أنا الحق (Aku Allah yang Maha Benar), سبحاني ما أعظم شأني (maha suci Aku, betapa Agung keberadaanku) dan ungkapan serupa sebagai hikayat dari Allah, sekedar ungkapan bahwa Allah menyebut diri-Nya demikian, bukan berarti mereka mengaku menyatu dengan Allah sebab itu tak mungkin dan tak masuk akal. (al-Hawi Lil Fatawi, II, 134).

Tentang penyatuan diri, Imam Suyuthi menjelaskan:

واعلم أنه وقع في عبارة بعض المحققين لفظ الاتحاد إِشارة منهم إِلى حقيقة التوحيد، فإِن الاتحاد عندهم هو المبالغة في التوحيد. والتوحيد معرفة الواحد والأحد، فاشتبه ذلك على من لا يفهم إِشاراتهِم، فحملوه على غير محمله؛ فغلطوا وهلكوا بذلك (الحاوي للفتاوي ج 2 ص 134)

Ketahuilah bahwasanya ada pernyataan sebagian tokoh bahwa kata ittihad (penyatuan hamba dengan tuhan) adalah kode dari kalangan Shufi untuk menegaskan hakekat tauhid. Ittihad menurut mereka adalah puncak tauhid sedangkan tauhid adalah pengetahuan tentang Yang Satu. Kemudian hal ini jadi samar bagi orang yang tak paham istilah mereka sehingga membawanya ke luar konteks sehingga mereka salah dan celaka karenanya. (Al-Hawi).

Ada yang bingung? Sederhananya, ungkapan seolah Shufi menyatu dengan Allah itu sama dengan ungkapan orang yang sedang dimabuk cinta: “Engkau adalah aku dan aku adalah engkau” atau “kita adalah satu jiwa dalam dua raga” atau “Hanya engkau yang kulihat di mataku”. Orang yang romantis tahu betul kalau ungkapan ini hanyalah ungkapan cinta yang memuncak, bukan berarti benar-benar menyatu. Beda lagi dengan orang yang keromantisannya di titik nol derajat, tak paham dia dengan istilah semacam ini. Kalau pasangannya bilang demikian bukannya terkesan justru malah dibilang pembohong. Seperti inilah orang yang tak paham ungkapan cinta. Sekarang, para pembaca tentu tahu maksud perkataan seorang Shufi: ما رأيت شيئاً إلاّ رأيت الله فيه (Aku tak melihat apapun kecuali melihat Allah di sana) atau ما في الجبة الا الله (tak ada sesuatu pun dalam jubah ini kecuali Allah). Masih memahami secara harfiah? Sungguh terlalu….

Sekali lagi di ingat, sedikit sekali tokoh sufi yang menggunakan istilah “lebay” seperti itu. Kebanyakan menolak memakai ungkapan yang membuat orang salah paham dan memilih ungkapan wajar untuk mengajar para muridnya.

Lalu bukankah banyak kasus di mana ada seorang yang mengaku Shufi yang bertindak sangat aneh hingga bisa dibilang melanggar syariat? Betul, apa yang diherankan dari ini? Bukankah banyak orang yang mengaku islam tapi jadi teroris, mengaku menebar rahmat Lil ‘alamin tapi menyakiti sesama muslim, mengaku berpendidikan tinggi dan terhormat tapi korupsi? Ini semua hanyalah kasuistik semata, tak bisa dijadikan alasan untuk mengkritik ajarannya. Mereka yang demikian ini tak lebih dari sekedar Shufi abal-abal. Sebab itu, memilih Mursyid yang tepat adalah syarat utama kalau hendak memasuki thariqah shufiyah. Jangan sampai orang fasiq dikira wali, klenik dan perdukunan dikira karamah.

Sebagai akhir, ada nasehat dari Syaikh Abdul Wahab as-Sya’rani bagi orang yang dengan entengnya mengaku sebagai Shufi:

سمعت سيدي عليًا الخواص يقول: إِياك أن تعتقد يا أخي إِذا طالعت كتب القوم، وعرفت مصطلحهم في ألفاظهم أنك صرت صوفيًا، إِنما التصوف التخلق بأخلاقهم، ومعرفة طرق استنباطهم لجميع الآداب والأخلاق التي تحلَّوْا بها من الكتاب والسنة. (لطائف المنن والأخلاق ج2 ص149)

Aku mendengar sayyidi Ali al-Khawwash berkata: Hati-hati jangan sampai ketika engkau telah membaca kitab-kitab para Shufi dan engkau telah mengerti istilah mereka lalu engkau meyakini bahwa dirimu telah jadi Shufi. Sesungguhnya tasawuf itu berakhlak dengan akhlak mereka dan mengetahui sumber primer mereka untuk semua tatakrama dan akhlak yang menjadi hiasan mereka itu dari al-Qur’an dan Hadis. (Latha’if al-Minan).
Semoga bermanfaat.

@Abdul Wahab Ahmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.